Apa Kata Psikologi tentang Rasa Malu?

Rasa malu, semua orang sebenarnya memilikinya. Hanya saja ada yang mengakui perasaan malunya itu dan ada juga yang mengabaikannya. Dalam buku The Gifts of Imperfection, peneliti psikologi manusia, Brene Brown menjelaskan hasil penelitiannya tentang pengertian malu dan cara mengatasinya.

Ada  3 hal yang perlu semua orang ketahui tentang rasa malu:

  1. Kita semua memilikinya. Rasa malu itu universal dan salah satu perasaan manusia paling mendasar yang kita alami. Orang-orang yang tidak mengalami rasa malu tidak akan memiliki empati dan tidak bisa terhubung dengan sesama manusia.
  2. Kita semua takut membicarakan rasa malu.
  3. Semakin jarang kita membicarakan rasa malu, semakin besar rasa malu menguasai kehidupan kita.

Pengertian rasa malu

lisaferentz.com
lisaferentz.com

Rasa malu pada dasarnya adalah ketakutan untuk tidak dicintai. Rasa malu  adalah lawan dari memiliki cerita kita sendiri (yang baik maupun yang buruk, sepenuhnya) dan merasa diri berharga. Faktanya, definisi malu yang Brene Brown kembangkan dari penelitiannya:

Rasa malu adalah perasaan menyakitkan yang intens atau percaya bahwa diri kita ini cacat sehingga tidak layak dicintai dan tidak layak punya rasa memiliki.

Rasa malu menjatuhkan harga diri dengan cara meyakinkan diri kita bahwa memiliki  cerita kita sendiri akan membuat citra diri kita di mata orang lain berkurang. Rasa malu ini sebenarnya tentang takut.

Kita takut orang lain tidak akan menyukai kita jika mereka tahu diri kita yang sebenarnya. Atau setidaknya kita takut akan mengecewakan orang lain jika ia tahu sisi diri yang coba kita sembunyikan. Kita  takut  orang lain tidak akan menyukai diri kita jika mereka sepenuhnya tahu latar belakang kita, apa yang kita percayai, seberapa sulit perjuangan yang sedang kita hadapi, dan juga, percaya atau tidak, kelebihan yang sebenarnya kita miliki.

(Itulah sebabnya banyak orang yang mempermak imej dirinya di sosial media, dengan menunjukkan hal-hal tertentu saja di facebook, path, instagram, dan sejenisnya. Hal-hal yang bisa menjaga imej dirinya tetap baik di mata orang lain. Untuk poin terakhir, inilah yang membuat orang-orang berusaha merendah saat dipuji. Ada rasa malu pada kekuatan diri di balik kata-kata, “Ah, say amah biasa aja,” saat dipuji.)

Orang-orang inginnya percaya bahwa rasa malu semacam ini hanya ada pada orang-orang yang telah mengalami trauma yang berat. Namun ini tidaklah benar. Rasa malu itu dialami oleh tiap orang.

Walau tampaknya rasa malu itu bersembunyi di sisi gelap diri kita. Sebenarnya rasa malu itu mengintai  di berbagai sisi diir kita. Misalnya saja imej penampakan fisik, keluarga, pengasuhan, uang, pekerjaan, kesehatan, kecanduan, seks, usia, dan agama. Merasa malu itu esensi dari menjadi manusia.

Cerita perjuangan pribadi kita sendiri itu sulit dimiliki oleh smeua orang. Jika kita berusaha keras untuk membuat semua sisi diri kita “tampak baik dan sempurna” di permikaan, risikonya akan sangat tinggi saat kebenaran itu dipaksa muncul. Itulah sebabnya rasa malu sangat mencintai perfeksionis. Rasa malu akan dengan mudah membuat perfeksionis menutup sisi dirinya.

Selain takut mengecewakan orang lain atau membuat mereka menjauh karena cerita hidup kita yang sebenarnya, kita juga takut hal ini: jika kita menceritakan sisi hidup kita, satu pengalaman hidup saja akan membuat kita runtuh. Ada ketakutan bahwa kita akan terkubur atau orang lain mencitrakan diri kita hanya dari cerita itu saja, yang padahal kenyataannya, cerita itu hanyalah satu bagian kecil dari diri kita yang sebenarnya.

Dalam buku I Thought It Was Just Me, Brene Brown menceritakan seorang wanita yang memberanikan diri untuk bercerita pada tetangganya. Ia bercerita bahwa sebenarnya dirinya dulu kecanduan alkohol. Namun tetangganya membalas, “Saya tidak merasa nyaman kalau anak-anak saya bermain di rumahmu lagi.”

Jelas wanita ini merasa malu mendengar jawaban tetangganya. Namun wanita pemberani ini melawan rasa takutnya dan berkata, “Tapi mereka sudah bermain di sini selama 2 tahun. Dan saya sudah berhenti mabuk selama 20 tahun. Saya yang sekarang tidak ada bedanya dengan saya 10 menit yang lalu. Mengapa kamu memperlakukanku dengan cara yang berbeda?”

Jika rasa malu itu ketakutan tidak layak dicintai dan tidak layak memiliki, dan jika semua orang punya kebutuhan mendasar akan merasakan cinta dan merasa memiliki, itulah sebabnya mengapa rasa malu itu menjadi “tuan dari segala emosi.” Kita tidak harus mengalami rasa malu untuk dilumpuhkan olehnya. Ketakutan dianggap tidak berharga alias direndahkan saja sudah cukup untuk memaksa kita diam, tidak bercerita.

Jika kita semua memiliki  rasa malu, berita baiknya adalah kita mampu mengembangkan ketahanan terhadap rasa malu. Ketahanan terhadap rasa malu adalah kemampuan untuk mengenali rasa malu, untuk bergerak melaluinya sambil mempertahankan perasaan berharga dan keotentikan diri kita. Ketahanan terhadap rasa malu juga merupakan kemampuan untuk mengembangkan keberanian, perasaan sayang, dan juga keterhubungan sebagai hasil dari pengalaman kita.

Hal pertama yang perlu kita pahami tentang ketahanan terhadap rasa malu adalah semakin jarang kita membicarakan rasa malu, semakin rasa malu  itu menguasai diri kita. rasa malu membutuhkan 3 hal untuk mengendalikan kehidupan seseorang:

  • Kerahasiaan
  • Mendiamkan
  • Penilaian (judgment)

Saat hal memalukan terjadi dan kita menyimpannya, rasa malu itu tumbuh. Rasa malu memakan jiwa kita sedikit demi sedikit. Rasa malu terjadi sesama manusia. Rasa malu itu tersembuhkan juga di antara sesama manusia.

Tentu saja cerita tentang rasa malu itu bukan untuk diceritakan pada semua orang. Brene Brown menjelaskan 6 jenis orang yang perlu kita hindari dalam menceritakan pengalaman yang membuat kita malu (hati-hati, bisa jadi kamu juga termasuk orang-orang seperti ini, 6 tipe ini bukanlah  orang yang berhak untuk mendengar cerita pribadi).

  1. Teman yang begitu mendengar ceritamu justru merasa malu karenamu. Dia menghela napas dan mengatakan betapa memalukannya dirimu. Lalu ada keheningan yang canggung dan kamu justru yang perlu membuatnya merasa lebih baik.
  2. Teman yang merespon dengan simpati (“Aduh, kasihan deh kamu!”) bukannya empati (“Aku mengerti, aku juga pernah merasakannya kok”).
  3. Teman yang menjadikan dirimu sebagai panutan untuk merasa berharga dan otentik. Ia tidak akan bisa membantumu karena dia akan kecewa akan ketidaksempurnaanmu. Kamu telah membuatnya kecewa.
  4. Teman yang sangat tidak nyaman dengan kerapuhan/kegalauan sampai-sampai dia memarahimu, “Kok bisa-bisanya kamu melakukan itu? Apa yang kamu pikirin?” atau dia mencari kambing hitam, “Siapa sih orangnya? Kasih tau biar saya balas.”
  5. Teman yang berusaha membuat keadaan terasa lebih baik karena rasa tidak nyamannya. Dia tidak terima kalau kamu pun bisa berbuat kesalahan dengan berkata, “Ah, kamu berlebihan. Nggak seburuk itu Kamu hebat. Kamu sempurna. Semua orang mencintai kamu.”
  6. Teman yang akan mencoba mengalahkanmu, “Itu mah gak ada apa-apanya. Dengerin deh pengalaman gue.”

Hindarilah ke-6 jenis orang di atas. Yang kamu perlukan justru teman yang berusaha menyamakan frekuensi denganmu. Teman yang akan berkata, “Aku mengerti hancurnya perasaanmu. Aku pernah merasakannya.”

Jika kita sudah menemukan orang yang berhak dan layak untuk mendengarkan cerita kita, kita perlu memberitahunya. Rasa malu akan menjadi lemah saat dibicarakan. Dengan cara ini, kita perlu memupuk cerita kita sendiri agar rasa malu itu bisa pergi (tentu berbeda dengan menjadi tidak tahu malu).

Orang-orang yang memiliki ketahanan terhadap rasa malu memiliki 4 hal ini:

  1. Mereka memahami rasa malu dan menyadari hal apa saja (baik pesan maupun harapan) yang memicu rasa malu pada diri mereka
  2. Mereka melatih kesadaran kritis dengan memeriksa pesan dan harapan yang mendiktenya hal ini: “menjadi tidak sempurna itu berarti menjadi tidak berharga”
  3. Mereka menceritakan kisahnya dengan orang-orang yang mereka percayai
  4. Mereka membicarakan rasa malu: mereka menggunakan kata “malu” dalam percakapannya, mereka membicarakan bagaimana perasaan mereka, dan mereka meminta apa saja yang mereka butuhkan

Orang yang melatih ketahanan terhadap rasa malu biasanya merasa memiliki dan menceritakan kisahnya sendiri. Kisah yang membuatnya bukan merasa malu, tapi merasa bersalah.

Apa perbedaan antara merasa malu dan merasa bersalah?

counselingrx.com
counselingrx.com

Merasa bersalah itu seperti ungkapan “Saya melakukan hal yang buruk.” Sementara merasa malu ini seperti ungkapan “Saya ini buruk.” Rasa malu itu tentang siapa diri kita. sementara merasa bersalah itu tentang perilaku kita.

Kita merasa bersalah saat kita menutupi hal yang sudah kita lakukan atau saat kita gagal menjadi sosok yang kita inginkan. Rasa bersalah itu perasaan yang tidak nyaman namun sangat membantu diri kita untuk menjadi lebih baik. Perasaan bersalah memotivasi diri kita untuk meminta maaf atas hal yang kita lakukan, memperbaikinya, atau mengubah kebiasaan yang membuat kita merasa tidak enak.

Perasaan bersalah ini sekuat perasaan malu. namun efek perasaan bersalah seringkali positif sementara perasaan malu ini menghancurkan. Saat kita melihat orang yang meminta maaf, memperbaiki kesalahan, atau mengganti kebiasaan negatif dengan yang positif, orang itu terdorong oleh perasaan bersalah, bukan rasa malu. Bahkan penelitian Brene Brown menunjukkkan bahwa menggerus rasa percaya bahwa kita bisa berubah dan menjadi lebih baik.

Secara alamiah manusia ingin merasa layak dicintai dan memiliki. Saat merasa malu, kita merasa terputus dan merasa tidak berharga. Takut merasa malu membuat seseorang terlibat dalam perilaku yang merusak diri sendiri atau mempermalukan orang lain. Bahkan perasaan malu ini berkaitan dengan kekerasan, agresi, depresi, kecanduan, gangguan makan, dan bullying. Dalam pengasuhan, menggunakan rasa malu (“Kamu memang anak nakal!”) bukannya perasaan bersalah (“Perbuatan kamu buruk!”) membuat anak-anak merasa bahwa ia tidak layak dicintai.

Bagaimana cara mengatasi malu?

Dr. Linda Hartling, direktur Studi Harga Diri dan Penghinaan Manusia di Stone Center, Wellesley, meneliti cara kebanyakan orang-orang mengatasi rasa malu. Ia membaginya menjadi 3 jenis cara: menarik diri, bergerak, melawan.

Orang-orang yang menarik diri akan bersembunyi, diam, dan menjaga rahasia saat malu. Orang yang bergerak akan berusaha memenuhi tuntutan dan menyenangkan orang lain. Sementara orang yang melawan rasa malu akan berusaha menguasai orang lain dengan menjadi agresif, memarahi orang lain, atau balik mempermalukan orang lain.

Sebagian besar dari kita menggunakan 3 hal ini—pada waktu yang berbeda dengan orang yang berbeda untuk alasan yang berbeda. Namun ketiga cara ini menjauhkan diri kita dari cerita kita yang sebenarnya. Rasa malu ini tentang rasa takut, menyalahkan, dan ketidakterhubungan. Cerita adalah tentang merasa diri berharga dan merangkul ketidaksempurnaan yang kemudian memberi kita keberanian, perasaan sayang, dan keterhubungan.

Jika kita ingin hidup sepenuhnya, tanpa rasa takut untuk tidak merasa cukup, kita perlu memiliki cerita kita sendiri. Kita juga perlu merespon rasa malu dengan cara yang memperparah rasa malu kita. salah satu caranya adalah menyadari kapan kita merasa malu sehingga kita bisa bereaksi dengan kesadaran.

Rasa malu itu emosi dengan kontak penuh. Orang-orang dengan ketahanan terhadap rasa malu yang tinggi tahu kapan rasa malu terjadi. Cara termudah untuk mengetahui rasa malu  adalah dengan mengembangkan kesadaran akan gejala fisik saat terjadi rasa malu.

Brene Brown menyebutkan saat ia merasa malu dan tidak berharga ada gejala-gejala berikut: detak jantungnya memacu, wajahnya terasa panas, mulutnya mongering, ketiaknya terasa gatal, dan waktu melambat. Pada saya sendiri, tangan serasa ingin menggaruk, dahi saya mengerut, dan kepala terasa sedikit sakit. Penting untuk mengetahui gejala personal kita sendiri agar bisa dengan sadar merespon rasa malu tersebut.

Saat merasa malu, interaksi kita dengan manusia akan berlangsung buruk. Kita perlu kembali ke kesadaran emosional kita sebelum, misalnya mengirim email atau pesan yang kelak akan kita sesali. Brene Brown mengatakan bahwa ia butuh 10-15 menit untuk membuat dirinya sadar. Dalam waktu tersebut ia pasti menangis dan perlu berdoa agar ia siap. Mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi malu adalah anugerah hidup tersendiri.

Untuk mulai melatih ketahanan terhadap rasa malu dan mengakui cerita hidupmu sepenuhnya, mulailah dengan menjawab 4 pertanyaan berikut ini:

  1. Kamu menjadi orang seperti apa saat terpojokkan oleh rasa malumu?
  2. Apa yang kamu lakukan untuk melindungi diri kamu sendiri dari rasa malu?
  3. Sosok siapakah yang kamu panggil untuk melalui sisi dirimu yang menarik diri/bergerak/melawan?
  4. Hal paling berani apakah yang bisa kamu lakukan untuk dirimu sendiri saat dirimu merasa kecil dan terluka?

Cerita kita yang sebenarnya itu bukanlah untuk didengar semua orang. Bisa mendengarkan cerita kita ini adalah keistimewaan tersendiri. Sebelum membuka cerita ini, kita perlu bertanya hal ini pada diri kita sendiri::

“Siapa yang berhak untuk mendengarkan ceritaku?”

Jika kita bisa mendapat 1 atau 2 orang di dalam hidup kita yang bisa duduk bersama kita dan berbagi ruang untuk cerita memalukan yang kita miliki dan ia tetap mencintai kita atas kekuatan dan perjuangan kita, kita termasuk orang yang sangat beruntung. Jika kita punya seorang teman, atau sekelompok teman, atau keluarga yang memeluk ketidaksempurnaan kita, kerapuhan/kegalauan kita, dan kekuatan kita lalu memenuhi diri kita dengan rasa memiliki, kita adalah orang yang sangat beruntung.

Kita tidak butuh cinta, perasaan memiliki, dan cerita dari semua orang dalam hidup kita. Namun kita butuh setidaknya satu orang saja yang memenuhi semua itu. Jika kita sedang berusaha untuk mengembangkan hubungan berdasarkan cinta, rasa memiliki, dan cerita (3 hal yang membuat kita bertahan dari rasa malu), kita perlu mulai dari satu jenis perasaan: “Saya ini berharga.”