5 Cara Meningkatkan Percaya Diri Batita

Melanjutkan pembahasan tentang menumbuhkan rasa percaya diri anak, berikut ini tips menumbuhkan percaya diri pada anak usia 0-3 tahun. (Untuk anak usia 3-6 tahun dapat dibaca di sini)

Masa bayi (0-12 bulan)

bayi belajar jalan
wanitabercerita.com

Pada masa ini seorang bayi belum bisa mengenal dirinya bahwa ia adalah sosok yang berdiri sendiri. Pada masa ini bayi hanya memerlukan cinta dan perhatian. Berikan dekapan dan kecupan, elusan lembut di kepalanya, tatap matanya, bicara dan bernyanyi, dan selalu tersenyum padanya. Semua ini akan memberikan pesan padanya bahwa “kamu sangat berharga dan dicintai di keluarga ini.” Perasaan diterima dan dicintai ini sangat menumbuhkan rasa percaya dirinya kelak

Anak usia 1-3 tahun

batita percaya diri bermainPada usia ini anak mulai belajar mandiri, bahwa ia mempunyai kontrol terhadap dirinya. Misalnya belajar untuk mengatur dan menahan keinginan untuk buang air kecil ataupun besar. Biasanya anak pada usia ini ingin memilih sendiri makanan, mainan, ataupun baju yang disukainya. Pada usia ini anak sering mengatakan “tidak mau,” karena memang masanya ia ingin menjadi mandiri. Pada usia ini anak sulit untuk berbagi karena masih pada tahap pencarian jati diri. Akibatnya anak menjadi sangat egois.

Masa ini tentunya akan berlalu. Apabila orang tua mengerti dan sabar dalam menghadapi perilaku anak yang alami ini, anak akan mempunyai rasa percaya diri bahwa dirinya dihargai oleh orang tuanya. Apabila orang tua tidak sabar dengan sering memarahi dan memaksakan pendapat kepada anak, anak akan tumbuh menjadi orang yang pemalu/peragu sehingga sulit untuk tumbuh menjadi orang yang percaya diri.

5 tips untuk orang tua dengan anak berusia 0-3 tahun

batita percaya diri bermain bersama

 

  1. Orang tua membiarkan anak menentukan pilihannya.

Apabila orang tua ingin anaknya menentukan pilihan yang pantas, berikan pilihan terbatas pada anak namun anak tetap merasa punya kendali. Misalnya ketika memilih baju untuk tamasya, tentukan 2 atau lebih pakaian yang bagus lalu tawarkan kepada anak untuk memilih salah satunya.

  1. Jangan cap anak nakal jika menentang orang tua.

Apabila anak sering berkata “tidak,” “ngga mau,” “ogah,” jangan dicap bahwa anak belajar untuk jadi pembangkang atau durhaka. Artikan kata “tidak” si anak sebagai: “Saya ini anak yang mandiri, mempunyai kontrol terhadap diri saya, dan ini amat penting dan menyenangkan buat saya.”

Jika orang tua ingin anaknya melakukan sesuatu (misalnya makan), bayangkan kata “tidak mau” akan terucap dari anak dan pakai strategi, misal, “Mama baru beli cokelat (atau makanan kesukaan anak), tapi kamu baru boleh memakannya setelah makan siang.”

Anak tetap diberikan kendali untuk memilih walau sebetulnya anak digiring untuk patuh pada keinginan orang tua untuk makan siang.

  1. Jangan harapkan anak mau berbagi apa yang dimilikinya (mainan/makanan).

Jika ada beberapa anak seusianya berkumpul, siapkan mainan jenis yang sama lebih dari satu, karena bila tidak, hampir dipastikan anak-anak akan berantem rebutan mainan.

Orang tua tetap dapat mengenalkan konsep berbagi, namun anak pada tahap ini sedang belajar “kepemilikan pribadi” dan biarkan masa ini menjadi tahap yang harus ia lalui.

Jangan membuat target tinggi bahwa anak harus mau berbagi semua yang dimilikinya dengan saudara/teman.

  1. Jangan harapkan anak seusia ini dapat bermain bersama teman-temannya.

Mereka belum perlu bersosialisasi karena masih pada tahap belajar mengenal dirinya yang “terpisah,” independen dari yang lainnya.

Mereka hanya memerlukan lingkungan yang dapat memberikan cinta, penghargaan, dan rasa aman. Jangan paksakan anak untuk masuk ke playgroup/PAUD. Dengan orang tua sering mengajak anak berbicara, membacakan buku, dan bermain saja lebih dari cukup.

  1. Siapkan banyak mainan (tidak harus mahal).

Pada masa ini anak sering berimajinasi dan berbicara sendiri ketika bermain. Hal ini normal, bahkan diperlukan karena ketika anak melakukannya, ia sedang belajar mengendalika keadaan sehingga menimbulkan rasa “saya mampu dan punya kuasa.”

Ketika berimajinasi anak dapat menjadi manusia yang jauh melampaui keadaan dirinya. Misalnya ketika anak berimajinasi menjadi dokter atau tentara. Hal ini perlu untuk mengembangkan rasa percaya diri anak. Siapkan mainan atau bahan-bahan sebanyak-banyaknya (tidak harus yang mahal, bisa dengan kotak bekas, tas kantor bekas, dsb).