Cara Agar Tidak Gagal Mengetahui Bakat Anak

Kalau anak kita pulang bawa beberapa  nilai ulangan: 5, 6, 7, sama 9. Nilai mana yang kita lihat?

Saat simulasi ini dilakukan di Eropa, 70% orang tua di Eropa melihat yang 5 dan 6. Di Amerika lebih parah lagi, mencapai 80%. Orang lebih senang melihat keburukan.

Umumnya kita juga melihat nilai jelek anak. Yang baiknya jadi terlihat biasa. Padahal kalau kita pikirkan masak-masak, apakah masalah kalau anak hanya senang satu pelajaran, misalkan Bahasa?

Itulah yang disampaikan oleh Harry Santosa dalam Fatherhood Forum. Banyak orang tua yang menuntut anak untuk “sempurna,” punya prestasi yang bagus di sekolah. Nilai-nilai rapornya bagus semua. Padahal jika terkait kemampuan dan prestasi belajar, sebenarnya setiap anak itu sudah Allah ciptakan sempurna dengan keunikan yang ia miliki.

Akan jadi lebih baik jika orang tua mengapresiasi prestasi dan kebaikan yang ada pada diri anak. Dengan begitu fitrah anak akan tergali dan prestasinya di masyarakat akan jauh lebih berkembang. Tentu prestasi yang sesuai fitrahnya, bukan sesuai keinginan orang tua.

Fitrah anak itu sendiri ada beberapa jenis: fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah perkembangan, dan fitrah bakat. Pada tulisan ini kita  bahas fitrah bakat pada anak.

1

Hasil riset pentingnya fokus pada fitrah bakat anak

http://www.thetoddanderinfavoritefive.com/

Pada tahun 1925, Elizabeth Hurlock melakukan penelitian terhadap anak-anak kelas 6 SD. Dalam kelas matematika, tiap anak diberi 3 jenis masukan. Ada yang diberi masukan positif  (dipuji), ada yang diberi masukan negatif (dikritik kekurangannya), dan yang terakhir diabaikan (tidak diperhatikan sama sekali).

Hasil penelitiannya ternyata 71% anak-anak yang diberi pujian di depan kelas nilainya naik pada ujian berikutnya.  Anak-anak yang dikritik hanya 19% yang nilainya naik. Sementara anak-anak yang diabaikan hanya 5% yang mendapat kenaikan nilai.

Apa yang ditunjukkan oleh penelitian ini? Sebenarnya memberi masukan positif, yakni mengapresiasi kelebihan dan usaha seorang anak membuat anak lebih termotivasi untuk belajar.

Sayangnya, penelitian Hurlock ini diabaikan oleh dunia pendidikan. Bukannya memuji usaha anak, praktik umum di dunia pendidikan adalah mengkritisi hal-hal yang dianggap masih kurang baik. Bukannya kita harus mengabaikan kekurangan anak. Namun apresiasilah usaha anak, maka dia tidak akan mau mengecewakan orang tuanya dengan belajar lebih tekun.

Logika serupa juga bisa kita temukan di dunia kerja. Gallup, perusahaan riset multinasional, melakukan riset yang serupa dengan yang dilakukan Elizabeth Hurlock. Mereka menyurvei ribuan karyawan tentang perlakuan manajer. Apakah manajer mereka fokus pada?

A. Kekuatan karyawan
B. Kelemahan karyawan
C. Bukan keduanya, manajer mengabaikan karyawan

Hasilnya, 99% karyawan yang memilih A memiliki kinerja yang produktif di kantor. Hanya 1% yang tidak produktif. Pada kumpulan karyawan yang memilih B, ada 22% yang tidak produktif di kantor. Sementara pada karyawan yang diabaikan manajer, 40% di antara mereka tidak produktif di kantor.

Ternyata para karyawan yang sudah dewasa juga memiliki respon yang alami seperti anak-anak. Mereka akan lebih senang bekerja ketika diapresiasi usahanya. Terlebih lagi jika bidang pekerjaannya ini sesuai fitrah bakatnya, atau bahasa kerennya sesuai passion. Jika anda mengabaikan hal ini, hasilnya adalah kantor yang tidak produktif.

2

Akibat orang tua yang tidak fokus pada fitrah kekuatan anak

http://theunboundedspirit.com/

Dampak ketidakproduktifan ini membuat karyawan rentan mengundurkan diri dari pekerjaannya. Dengan kata lain, manajer yang tidak pernah mengakui kekuatan dan prestasi membuat karyawan tidak betah bekerja.

Manajer di kantor ini layaknya orang tua di rumah. Bedanya, kalau karyawan masih punya pilihan untuk ganti pekerjaan, sementara anak tidak bisa memilih ganti orang tua. Tidak heran kalau banyak anak yang akhirnya membangkang pada orang tuanya dan meninggalkan rumah. Dari kecil orang tua dan sekolah menjauhkan anak dari fitrahnya.

Potensi yang sebenarnya Allah berikan pada anak tidak diakui oleh orang tua. Meminjam istilah Fauzil Adhim, “Sebelum ada anak yang durhaka pada orang tua, ada orang tua yang lebih dahulu durhaka pada anaknya.”

Mungkin ada yang khawatir kalau terlalu banyak memuji anak akan membuat anak malas, seperti yang diungkapkan Carol Dweck dalam buku Mindset. Sebenarnya pujian itu sangat baik kalau berfokus pada proses, bukan hasil. Mengamati dan memuji perjuangan anak itulah yang akan memotivasi anak untuk terus belajar.

Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Tugas kita adalah menjaga agar anak tetap pada fitrahnya. Termasuk fitrah potensi dan kekuatan diri. Kalau memang anak tidak terlalu menyukai pelajaran di sekolah, pasti ada harta karun tersembunyi yang anak miliki. Tugas kitalah membantu agar anak menemukan potensi tersebut.

Besarkan anak sesuai fitrahnya, bukan sesuai keinginan dan hawa nafsu kita. Karena sejatinya, anak bukanlah (dan tidak pernah menjadi) milik kita. Anak adalah titipan yang harus kita jaga dengan sangat baik. sesuai fitrahnya.

3

Contoh anak-anak yang berhasil dididik sesuai fitrah potensi

huffingtonpost.com

Penting bagi ayah untuk mengapresiasi usaha anak. Tidak ada anak yang malas belajar asalkan mereka belajar sesuai fitrahnya.

Oleh karena itu, ayah perlu belajar untuk mendidik anak sesuai fitrah potensi. Berikut ini beberapa contoh orang tua yang sepenuhnya percaya pada potensi anak sehingga anaknya yang semula dicap nakal akhirnya dapat menunjukkan prestasi dari potensi uniknya.

Tetsuko Kuroyanagi si Totto Chan

Totto Chan dicap nakal sampai akhirnya ada sekolah yang mengakui fitrah potensi berbicara yang ia milikiKalau membaca buku Totto-chan, pasti tahu kisahnya. Anak yang dianggap nakal oleh gurunya karena terlalu aktif dan terlalu banyak berbicara di luar topik pelajaran. Totto-chan dianggap bodoh karena mengganggu guru dan teman-temannya.

Sampai akhinya ibunya memindahkan sekolah Totto-chan. Kepala sekolahnya yang baru segera memahami bakat fitrah Totto-chan,  yakni berbicara. “Kenakalan” Totto-chan ini justru jadi kekuatan tersembunyi. Saat sudah besar, Totto-chan bisa jadi pembawa acara terkenal di Jepang.

Thomas Alva Edison, Bapak Lampu Pijar

Edison dicap bodoh oleh gurunya lalu ibunya mendidiknya sesuai fitrahnya sebagai penemuThomas Edison dicap addled oleh gurunya. “Otaknya terganggu,” katanya. Edison kecil dianggap terlalu bodoh untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Edison memang tidak bisa duduk diam mendengarkan gurunya. Terlalu sering diejek gurunya, Edison pulang ke rumah sambil menangis.

Ibunya marah dan melabrak guru dan sekolahnya. “Anak saya ini jauh lebih pintar daripada semua guru yang ada di sekolah ini,” kata ibunya.

Keesokan harinya, ibu Edison mendidik anaknya sendiri di rumah. Hanya dalam 4 tahun saja, Edison sudah mandiri, menjadi peneliti sekaligus berjualan koran di stasiun. Memang benar perkataan ibunya, Edison ini anak yang benar-benar cerdas jika dididik sesuai fitrahnya.

Gillian Lynne, Penari Berbakat

Gillian Lynne fitrahnya berpikir ketika ia bergerak, itu yang membuat dia berbakat jadi penariDalam buku The Element, Ken Robinson menceritakan tentang Gillian, anak perempuan yang dicap mentalnya terganggu karena tidak bisa diam di kelas. Khawatir akan kondisi Gillian, ibunya membawa Gillian ke psikolog.

Psikolog ini membawa Gillian ke satu ruangan dan menyalakan musik. Secara otomatis Gillian menari mengikuti irama. Tariannya sangat indah untuk ukuran anak 8 tahun.

“Nyonya Lynne, Gillian tidak sakit. Anak Anda ini fitrahnya jadi penari. Bawa dia ke sekolah  menari,” kata sang psikolog. Gillian ini salah satu anak yang harus bergerak agar otaknya bisa berpikir jernih.

Saat sudah besar, Gillian menjadi penari balet dan koreografer terkenal. Bahkan Gillian berhasil membuat perusahaan pertunjukan teater musikal sendiri. Ini dimulai dari orang tua yang mengenali fitrah anak.

Dedy Corbuzier, World Best Mentalist

Fitrah Dedy Corbuzier adalah membuat pertunjukanSaat sekolah, nilai Dedy Corbuzier tidak begitu bagus. Namun ayahnya  berfokus pada fitrah kekuatan Dedy, bermain sulap. Bukan pada kelemahannya dalam pelajaran sekolah. Seperti yang Dedy tulis dalam blognya:

Saya… Saya 2 kali tidak naik kelas… Yes… I am. Proudly to say..

Ayah saya ambil report.. Merah semua.. Dia tertawa.. “kamu… Belajar sulap tiap hari kan.. Sampai gak belajar yang lain..”

“iya pa”

“sulapnya jago… Belajarnya naikin Yuk.. Gak usah bagus… Yg penting 6 aja nilainya.. Ok?.. Pokoknya kalau nilai nya kamu 6.. Papa beliin alat sulap baru… Gimana?”

Wow… My target is 6…..

Not 8.. Not 9… NOT 10!!!! It’s easy….. Its helping… Its good communication between me and my father…. Its a GOOD Deal… Dan Ibu saya? Mendukung hal itu.

Apa yang mereka dapat saat ini?

Anaknya yang nilainya tidak pernah lebih dr 6/7 tetap sekolah.. Kuliah… Jadi dosen Tamu .. Mengajar di beberapa kampus..

Oh.. Anaknya…

Become one thing they never imagine…

World Best Mentalist

(Merlin Award Winner : penghargaan tertinggi di seni sulap dunia) 2 kali berturut turut….