Akibat Onani

Onani alias masturbasi menjadi satu dilema tersendiri bagi banyak orang. Salah satu pertanyaan yang banyak ditanyakan adalah: Benarkah onani mengakibatkan impotensi?

Dr. Bernell Christensen, psikolog dari Candeo, sering mendapat klien, baik pria maupun wanita yang menderita impotensi seksual. masalah yang ada pada klien-klien prianya adalah sulit terangsang oleh pasangannya. Dr. Christensen mengamati penyebabnya adalah para pria ini sudah terlalu sering onani dan berfantasi seksual.

Fantasi Seks + Onani = Impotensi?

Seorang pemuda menceritakan akibat onani pada kehidupannya, terutama kehidupan cintanya, pada Dr. Christensen.

Ini sudah menjadi bagian dari hidup gue selama ini. Gue sering penasaran, “Apa orang lain punya masalah yang sama dengan gue?” Gue udah kecanduan onani sejak usia gue 10 tahun. sekarang gue 23 tahun.

Tanpa perlu berbasa-basi soal detail hidup gue, pas gue udah 20-an tahun, kecanduan onani sudah mengambil alih hidup gue. Onani membuat gue gak bisa menikmati hampir semua hal. Termasuk kehidupan cinta gue. Onani membuat gue gampang bosan dengan pasangan gue. Bahkan ke cewe yang gue cintai, seringkali gue lebih memilih porno, fantasi, dan masturbasi daripada dia.

Mungkin kamu sudah menduga, sekarang gue ini jomblo. Gue terjebak oleh kecanduan yang membuat gue hanya bisa terangsang oleh fantasi dan masturbasi. Walau gue sadar onani membuat jiwa gue terasa kosong, gue tetap gak bisa lepas dari onani.

Gue sadar kondisi gue sekarang ini menyedihkan. Sekarang gue ingin lepas dari kecanduan, sekaligus gue ingin menemukan cinta. Gue gak punya masalah menarik perhatian cewe. Hanya saja gue udah berhenti mendekati cewe, gak peduli seberapa gue suka sama dia. Gue sekarang udah gak punya perasaan tertarik ke wanita beneran.

Gue mau nambahin, gak peduli seberapa besar gairah seks gue, hasilnya gak akan beda. Semakin besar gairah gue, gue semakin ingin onani dan berfantasi. Seperti banyak orang di luar sana, gue ini bukti nyata betapa menghancurkannya kecanduan ini.

Terima kasih sudah memberi gue kesempatan berbagi cerita hidup gue.

Mungkin kamu bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang ini begitu terjebak dalam fantasi dan onani sampai-sampai tidak bisa punya hubungan dengan manusia di dunia nyata?” Hal yang terjadi pada pemuda ini bisa dijelaskan dengan salah satu prinsip neurosains, yakni Pemaksaan Konteks.

Pemaksaan konteks terjadi saat seseorang secara terus-menerus mengulang-ulang kebiasaan tertentu dalam kondisi yang sama. Lama-kelamaan, kebiasaan ini menjadi sangat menempel di otak dan menjadi kebiasaan yang otomatis dilakukan.

Apalagi dengan adanya “hadiah yang menyenangkan” saat melakukan kebiasaan ini (klimaks seksual alias orgasme), kebiasaan ini akan dengan mudahnya menjadi candu. Mengapa disebut candu? Karena kebiasaan ini tetap ia lakukan walaupun ia sudah tahu dampak buruknya.

Pada kasus pemuda di atas, selama 13 tahun ia menggunakan self sex alias fantasi dan masturbasi sebagai pelepasan seksual utamanya. Kebiasaannya selalu menghasilkan hadiah istimewa berupa klimas seksual.

Saat klimaks, otak mengeluarkan berbagai jenis zat kimia. Saat aktivitas tertentu secara terus-menerus menghasilkan klimaks, aktivitas ini menjadi sangat dominan di dalam otak. Lama-kelamaan, di dalam otaknya ada rangkaian seksual bahwa klimaks seksual itu berhubungan dengan self-sex, bukannya hubungan intim dengan suami/istri, baik saat ini jika sudah menikah ataupun nanti jika sekarang masih lajang.

Baik sadar ataupun tidak sadar, si pelaku onani sudah mengukir dalam otaknya, bahwa keintiman seksual yang sehat dengan suami/istri itu hampir mustahil dilakukan.

Itulah sebabnya situs porno internet (yang “mendorong” pengunjung situsnya untuk onani tentu saja) berisi iklan-iklan obat semacam Viagra untuk mengobati impotensi. Atau bahasa ilmiahnya disfungsi ereksi. Istilah yang menyesatkan ini tampaknya menyiratkan bahwa pria yang terbiasa onani dan menonton pornografi itu memiliki masalah dengan organ kelamin mereka.

Padahal sebenarnya masalah mereka ada di otak dan sistem syaraf. Kedua bagian tubuh ini telah “belajar” melalui pengalaman yang berulang-ulang bahwa rangsangan seksual dan klimaks itu dicapainya sendirian, bukan dengan pasangan.