Ternyata Musik Klasik Bisa Untuk Mencerdaskan Bayi Itu Cuma Mitos Psikologi

Orang tua mana yang tidak mau membuat anaknya lebih cerdas lagi, IQ-nya naik. Banyak usaha yang dilakukan orang tua untuk meningkatkan kemampuan otak anaknya, bahkan semenjak anaknya masih dalam janin.

Banyak yang percaya kalau mendengarkan musik klasik terutama karya Mozart dapat meningkatkan IQ anak. Benarkah?

Efek musik klasik terhadap kecerdasan anak hanya mitos, ungkap Scott Lilienfield dalam buku 50 Great Myths of  Popular Psychology.  Sampai saat ini belum ada penelitian yang absah mengenai pengaruh musik klasik dalam merangsang kinerja otak dalam jangka panjang.buku mitos dunia psikologi

Lalu, mengapa anggapan kalau musik klasik meningkatkan IQ anak bisa muncul, bahkan tersebar dan dipercaya banyak orang?

Belum pernah ada penelitian pengaruh musik klasik pada bayi

Pada tahun 1993, terbit satu artikel di jurnal ilmu pengetahuan paling bergengsi di dunia, Nature. Dalam artikel tersebut, 3 peneliti dari University of California, melaporkan kalau mahasiswa yang mendengarkan sonata piano Mozart selama 10 menit saja menunjukkan kemajuan dalam tes kemampuan spasial dibanding mahasiswa yang tidak mendengarkan musik.  Oleh para peneliti ini, kemajuan tersebut diterjemahkan jadi kenaikan IQ 8-9 poin. Setelah itu, lahirlah istilah Mozart Effect alias efek Mozart.

Sebenarnya, temuan tahun 93 itu tidak menyebutkan apa pun tentang peningkatan jangka panjang kemampuan spasial, apalagi kecerdasan secara umum. Peningkatan hanya terjadi pada satu tugas yang dikerjakan langsung setelah mendengarkan musik Mozart. Bahkan penelitian ini sebenarnya dilakukan pada mahasiswa, bukan pada bayi.

Akan tetapi, hal ini tidak menghentikan media dan perusahaan mainan untuk mengeksploitasi teori Mozart Effect. Dengan berspekulasi temuan ini berlaku juga pada bayi, banyak perusahaan menjual CD, kaset, dan mainan Mozart Effect untuk bayi.

Pada tahun 2003, ada CD Mozart Effect yang terjual 2 juta keping. Banyak pula CD dan kaset Mozart yang dengan bangga menampilkan anak kecil atau bayi baru lahir di  sampulnya.

Selain itu, populernya mitos Mozart Effect ini juga karena salah kaprah memahami hasil penelitian lainnya. Beberapa studi memang menunjukkan kalau bakat bermusik cenderung memiliki korelasi positif dengan IQ. Banyak yang salah mengambil kesimpulan dengan berpikir bahwa mendengarkan musik dapat meningkatkan IQ.

Padahal belum tentu. Orang berbakat dalam musik cenderung IQ-nya tinggi. Tapi bukan berarti mendengarkan musik dapat meningkatkan IQ.

Media yang melebih-lebihkan pengaruh musik klasik

metro.co.uk

Ahli ilmu jiwa, Adrian Bangerter dna Chip Heath mengamati kalauMozart Effect ini makin lama makin menyimpang dan sering dilebih-lebihkan. Pada tahun 2000, ada satu artikel di Tiongkok yang menuliskan, “Berdasarkan studi di Barat,  bayi yang mendengarkan karya Mozart selama kehamilan kemungkinan lahir lebih pintar dibanding  bayi lain.” Padahal, tidak ada penelitian di Barat yang pernah meneliti efek musik Mozart pada janin dalam rahim.

Selain itu pada tahun 2001, artikel dalam Milwaukee Journal Sentinelmenyebutkan kalau “berbagai studi mengenai efek Mozart membantu siswa sekolah dasar, sekolah menengah, dan bahkan bayi dalam meningkatkan kinerja pikiran mereka.” Padahal tak ada peneliti yang pernah melakukan studi Mozart Effect pada kelompok usia ini.

Akibat dari lebay-nya media memberitakan Mozart Effect ni, masyarakat pun jadi percaya mentah-mentah. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% orang familiar dengan Mozart Effect. 73% mahasiswa psikologi percaya mendengarkan musik Mozart dapat meningkatkan kecerdasan.

Belakangan, beberapa peneliti membantu menemukan sumberMozart Effect. Dalam satu studi, mahasiswa diminta mendengarkan musik gembira karya Mozart, musik klasik sedih karya composer lain, dan tidak mendengar musik apa pun. Segera setelah mendengarkan musik, peneliti memberi partisipan tugas melipat dan menggunting kertas.

Musik Mozart meningkatkan kinerja dibandingkan 2 kondisi lainnya. Selain itu musik Mozart juga lebih meningkatkan passion. Namun saat dibuat statistickuntuk menyetarakan efek munculnya passion pada ketiga kondisi percobaan, Mozart Effect menghilang.

Hasil  studi lain menunjukkan bahwa mendengarkan Mozart tidak lebih baik daripada mendengarkan cerita horor Stephen King dalam memperbaiki kemampuan spasial.

Temuan-temuan ini menunjukkan kalau  Mozart Effect  sebenarnya meningkatkan semangat dalam jangka pendek. Maka, sebenarnya apa pun yang bisa meningkatkan kewaspadaan, kemungkinan meningkatkan kinerja ketika mengerjakan tugas yang menuntut kita berpikir.

Namun sayangnya kemungkinan tidak memberi efek jangka panjang pada kecerdasan spasial, apalagi IQ secara keseluruhan.

Jadi, sebenarnya mendengarkan musik Mozart ini tidak diperlukan kalau kita sudah minum kopi atau es jeruk. Toh efeknya sama-sama meningkatkan kewaspadaan.

Intinya, Mozart Effect mungkin bisa meningkatkan kinerja saat melakukan tugas tertentu. Namun, tak ada bukti yang menunjukkan kalau hal ini berhubungan dengan karya Mozart ataupun jenis music lainnya. Selain itu, taka ada bukti bahwa musik Mozart meningkatkan kecerdasan orang dewasa, apalagi bayi.

Tentu saja mengenalkan anak dengan musik Mozart ataupun karya komposer lainnya itu baik karena dapat membuat anak bersemangat. Namun, daripada berharap bayi bisa menjadi jenius dengan bantuan musik klasik, lebih baik tabung saja uang Anda untuk biaya pendidikannya kelak.

Industri musik yang memanfaatkan orang tua

telegraph.co.uk

Eksploitasi Mozart Effect ini bukan pertama kalinya dilakukan industri untuk memanfaatkan keinginan orang tua yang inginmeningkatkan kecerdasan bayinya. Banyak penjual yang memanfaatkan pernyataan populer tanpa adanya cukup bukti, kalau 3 tahun pertama kehidupan adalah masa yang paling penting untuk perkembangan kecerdasan.

Pada tahun 80-an. Ribuan orang tua memperkenalkan bayi yang baru lahir pada baasa asing dan matematika tingkat lanjut selama berjam-jam agar anaknya menjadi ”bayi super.” Namun sampai saat ini “bayi super” yang dinanti-nanti ini belum juga muncul.

Ada juga produk yang diduga dapat meningkatkan kecerdasan seperti seri “Baby Einstein.” Produk ini sudah menjadi industri senilai satu trilyun rupiah lebih per tahunnya. Namun tidak ada juga bukti meyakinkan bahwa produk ini berhasil.

Justru, penelitian menunjukkan bahwa bayi lebih banyak belajar dengan cara bermain secara aktif daripada menonton video dalam periode waktu yang sama.

Jadi, daripada memaksa anak mendengarkan musik klasik atau menonton video edukatif,  lebih baik gunakan waktu Anda untuk bermain dan berinteraksi dengan anak. Dijamin, kecerdasan anak Anda akan jauh lebih meningkat!