Sejarah Sony: Dari Radio, Walkman, Televisi, sampai Playstation

Sony Corporation bermula di sebuah toko serba ada yang ditinggalkan di puing-puing Tokyo pascaperang. Dari balik abu inilah muncul tape recorder, radio transistor, televisi, Walkman, sampai PlayStation.

Sony memperoleh kapabilitas teknologi swadaya Jepang dari meniru ke inovasi dan memutar ulang gambar-gambar dan soundtrack hidup kita.

Tonggak Sejarah Sony

1908: Kelahiran Masaru Ibuka.

1921: Kelahiran Akio Morita.

1946: Ibuka dan Morita mendirikan Tokyo Telecommunications Engineering Corporations

1955: Perusahaan menghasilkan radio transistor ukuran saku pertama buatan Jepang.

1958: Perusahaan ganti nama menjadi Sony, setelah keberhasilannya dengan radio transistor Sony TR-63.

1960: Sony Corporation of America didirikan.

1967: Peluncuran televisi Sony Trinitron.

1979: Peluncuran Sony Walkman.

1988: Sony mengambil alih CBS Records.

1989: Sony mengambil Columbia Pictures.

1994: Sony mengambil Columbia Pictures.

1997: Kematian Masaru Ibuka.

1999: Kematian Akio Morita.

2005: Konsorsium yang dipimpin Sony mengakuisisi MGM.

Masaru Ibuka adalah salah satu operator “amatir” radio gelombang pendek yang paling awal di Jepang. Dalam Exhibition Paris tahun 1933, ia dianugerahi hadiah atas sistem transmisi cahaya termodulasi hasil penemuannya sendiri.

Ibuka adalah seorang eksperimenter berbakat dalam teknologi suara, televisi, dan film. Selama Perang Dunia Kedua, ia berpartisipasi sebagai orang sipil dalam proyek Angkatan Laut Kerajaan Jepang. Misinya adalah mengembangkan peluru kendali pencari-panas. Selama penugasan tersebut, ia bertemu dengna perwira muda bernama Akio Morita.

Pada 1945, Ibuka membuka toko reparasi radio di sebuah bangunan yang tidak terkena bom di Tokyo. Tahun berikutnya, Morita, keturunan dinasti pembuat sake dan saus kecap yang berusia 300 tahun, bergabung dengannya.

Morita dan Ibuka mendirikan Tokyo Tsushin Kogyo K.K. atau Tokyo Telecommunication Engineering Corporation, dengan modal setara nilai $500 waktu itu dan 7 karyawan.  Ibuka menjadi direktur pelaksana. Kantor pertama mereka bertempat di toko serba ada yang ditinggalkan. Produk pertama mereka, penanak nasi elektronik, gagal untuk dijual.

Ibuka, dalam kata-kata obituarinya, “adalah pribadi dengan dimensi yang sama sekali berbeda. Di tengha kerusakan Jepang pascaperang, ia menyiapkan sebuah tujuan besar… dan kemudian melakukan upaya tiada henti untuk menciptakan perusahaan yang mampu mewujudkan sasaran itu. Setiap karyawan, mulai dari Akio Morita sampai ke bawah bekerja untuk meraih mimpi Masaru Ibuka.”

Perbedaan usia dan pangkat antara kedua orang itu tidak bermakna. Ibuka, insinyur yang rasa ingin tahunya begitu kuat. Morita, orang pemasaran yang bergelora. Hubungan mereka berdua saling melengkapi.

Pada 1949, mereka telah mengembangkan pita perekam magnetik sendiri. tak lama sesudah itu, tape recorder pertama buatan Jepang pun selesai, mereka menamainya Tipe-G.

Revolusi Transistor

Ibuka telah mendengar penemuan transistor oleh Bell Laboratories. Ia yakin akan potensinya yang besar untuk barang-barang elektronik, terutama memperkecil ukuran dan menghemat energi.

Ia melakukan perjalanan ke Amerika Serikat. Di sana ia membujuk Bell, yang terkepung dengan permintaan untuk aplikasi-aplikasi militer, untuk memberinya lisensi.

Ibuka, Morita, dan tim kecil mereka sudah memperbaiki resistor dan menghasilkan radio transistor ukuran saku pertama buatan Jepang. Produk ini meraih sukses yang cepat di tengah ekonomi Jepang yang sedang bangkit dan mereka menjadi simbol keunggulan.

Morita juga melakukan perjalanan ke Amerika Serikat. Ia diliputikegembiraan oleh skala dan energi bangsa yang sedang maju itu. Bagaimana ia dan Ibuka mampu bersaing dengan perusahaan multinasional Amerika?

Ia mengalami emosi serupa di Jerman, namun ditenteramkan di Belanda. Di negeri kincir angin tersebut, ia mengunjungi lokasi perusahaan raksasa elektronik Philips di kota tua Eindhoven. “Jika philips mampu melakukannya,” tulisnya kepada Ibuka, “mungkin kita pun mampu berusaha.”

Sekembalinya ke Amerika pada 1955, dengan bersenjatakan tape recorder dan radio transistor pertama buatan perusahaannya, ia gagal mendapatkan pesanan yang signifikan hingga ketika ia mengunjungi perusahaan jam Bulova.

Agen pembelian menawari dia pesanan sebanyak 100.000 radio miniatur—lebih daripada kapitalisasi Tokyo Telecommunications Engineering Corporation—dengan syarat bahwa Bulova memasarkan produk itu dengan namanya sendiri. ibuka dan direksi mengirim telegram bahwa ia harus menerima tawaran itu.

Morita, yang bervisi membangun perusahaan menjadi merek internasional, menolak tawaran itu. Belakangan ia menggambarkan keputusan itu sebagai keputusan terbaik sepanjang kariernya.

Radio transistor “Sony” TR-63 buatan Tokyo Telecommunications Engineering Corporations adalah yang terkecil yang memasuki produksi komersial, dan muncul dengan 4 pilihan warna. Nama Sony diambil dari Bahasa Latin yang artinya suara, dalam Bahasa Inggris kata “sonny” dan dalam istilah slang Jepang sony-sony yang artinya anak jagoan.

Pada tahun 1957, Sony TR-63 membuka pasar kaum muda Amerika, yang sedang gandrung akan tren rock and roll. Produk ini sangat aris sampai-sampai keberhasilan produk itu mendorong Morita untuk memberi nama baru pada perusahaan.

Morita menginginkan nama dalam alfabet Romawi—ini sangat tidak lazim bagi perusahaan Jepang pada masa itu. Ia juga menginginkan nama yang memungkinkan merek itu terbang bebas dari ikatan industri tertentu. Ibuka dan bank mereka Mitsui, menolak. Morita bersikukuh. Sony Corporation pun lahir.

Morita di Amerika

Strategi Morita adalah untuk menjadikan Sony perusahaan global dipusatkan di Amerika Serikat. Sony Corporation of America didirikan pada 1960. Perusahaan ini mendistribusikan radio transistor, televisi transistor pertama, dan solid-state video recorder yang pertama.

Tahun berikutnya, Sony menjadi perusahaan Jepang pertama yang terdaftar di New York Stock Exchange. Pada 1962, majalah Economist menyatakan, “Para rasul kearifan konvensional dari seluruh dunia harus datang ke Jepang untuk belajar bagaimana menandinginya.”

Sementara itu, Morita telah memutuskan untuk bergerak ke arah lain. Logikanya sederhana: jika ia ingin berhasil mewujudkan ambisinya untuk membangun kehadiran Sony yang dominan di Amerika, ia perlu mengetahui lebih banyak tentang orang-orang yang berpotensi membeli produknya.

Tidak pernah ada perusahaan Jepang yang mengirim pemimpin lapis-keduanya untuk tinggal di luar negeri. Ibuka pun tidak menyetujui. Namun Morita menang lagi. ia berjanji kepada Ibuka bahwa ia akan kembali ke Tokyo selama sepekan dalam setiap dua bulan.

Walau istri Morita, Yoshiko, tidak berbicara dalam bahasa Inggris, keluarga Morita tetap beranjak. Mereka tinggal di sebuah apartemen di Manhattan yang disewa dari pemain biola Nathan Milstein.

Morita ini orang yang dinamis, karismatis, dan mudah ditemui, dengan rambut perak belah tengah dan matanya yang abu-abu. Ada rumor ia keturunan Rusia Putih.

Morita menjadi fenomenal di Amerika. Apartemennya di Fifth Avenue berubah menjadi poros masyarakat New York. Pada pertengahan 1960-an, walau bolak-balik dari Tokyo, Morita menutup jaringan kontaknya sehingga menjadikannya satu-satunya orang Jepang yang duduk di direksi internasional perusahaan seperti Pan Am, IBM, dan Morgan Guaranty.

Profilnya di Amerika Serikat, dan profil Sony, tumbuh di sepanjang 1970-an. Ini memenuhi strateginya untuk perusahaan dan membuatnya jadi warga negara Jepang paling dikenal di dunia. Namun sepanjang kariernya, kepentingannya tetap kepentingan Ibuka dan Sony. Pada 1968, Sony menjual 5 juta radio transistor per tahun di Amerika.

“Kegembiraan dan Kesenangan”

Ibuka mengelola bagiannya yakni proyek satu-sumber tiga-berkas cahaya, yang pada 1967 menjadi televisi Trinitron dan kemudian serangkaian monitor komputer. Kebijakannya tetap, Sony melakukan riset dan mengembangkan standar dan teknologinya sendiri.

Sejumlah produk mengikuti, seperti Walkman personal stereo, produk klasik hasil kemitraan Morita/Ibuka. Morita mengamati bahwa anak-anak muda menginginkan musik ada di samping mereka sepanjang waktu. Pengamatan ini membuat Ibuka mengilhami perancangnya untuk “meraih” mereka dan memperbaiki pemutar kaset “jinjing” boombox yang ada saat itu.

Inovasi lainnya  meliputi format  video Betamax (yang penjualannya di pasar kelak dilampaui oleh format VHS dan JVC, namun tetap digunakan oleh industri film dan telveisi); film Betacam dan kamera TV; pemutar CD portabel dengan merek Discman; MiniDisc; dan, pada 1994, PlayStation.

Ibuka memiliki filosofi yang jernih, konsisten, dan usianya panjang. Filosofinya adalah produk-produk Sony “harus mendatangkan kegembiraan dan keseangan bagi pemakainya… [ia] selalu bertanya pada diri sendiri apa inti dari ‘membuat sesuatu,’ dan berpikir dalam pengertian yang luas mengenai bagaimana produk-produk ini dapat meningkatkan kehidupan dan kebudayaan orang.”

Ibuka mundur dari keterlibatan sehari-hari di Sony pada 1976, namun tetap menjabat honorary chairman dan kehadirannya di perusahaan tetap signifikan.

Pada 1993, Morita, yang 13 tahun lebih muda dari sahabat tuanya, menderita stroke sehingga harus memakai kursi roda. Kemampuan bicaranya pun menurun.

Ibuka meninggal dunia pada 1997. “Dalam masa-masa baik dan buruk, kita senantiasa bersama,” kata istri Morita menyampaikan kata-kata suaminya kepada istri Ibuka saat pemakaman. Dua tahun kemudian Morita meninggal dunia.

Menghadapi Masa Depan

Di awal abad ke-21, Sony kehilangan keunggulan kompetitifnya di wilayah-wilayah inovasi seperti Palmtop dan iPod. Sony juga mengalami persoalan-persoalan dengan komponen kamera-digital dan baterai laptop yang meledak (yang kemudian berhasil diatasi).

Dengan 163.000 orang yang dipekerjakan di salah satu konglomerat media dan hiburan terbesar di dunia—Sony saat ini mencakup CBS Records, Columbia Pictures, dan MGM—terlampau dini untuk mengatakan masa depan akan berjalan baik.

Pikiran terbuka dan sense of innovation menjadi ciri Sony saat pada 2005, Howard Stringer yang kelahiran Inggris ditempatkan sebagai orang asing pertama yang menjalankan perusahaan elektronik Jepang besar ini.

Di bawah Stringer, Sony menghadapi banyak goncangan. Stringer mendapat kesulitan memimpin perusahaan Jepang karena perbedaan budaya bisnis dan bahasa dari Stringer dan beberapa divisi Sony Jepang.

Pada 2012, Kazuo Hirai menggantikan Howard Stringer menjadi presiden dan CEO. Hirai menekankan inisiatif perusahaan yang baru, “One Sony.” Hirai ingin membangunkan lagi Sony dari kerugian finansial dan struktur manajemen yang terlalu birokratis. Hirai membuat 3 fokus besar untuk bisnis elektronik Sony, di antarnya teknologi imaging, teknologi games dan mobile, serta mengurangi kerugian dari bisnis televisi.

Pada Februari 2014, Sony menjual divisi PC Vaio-nya dan membuat divisi TV menjadi korporasi tersendiri agar bisa lebih cepat mengatasi kerugian $7,8 milyar selama dekade sebelumnya. Bulan itu juga, Sony mengumumkan akan menutup 20 tokonya.

Pada April, perusahaan mengumumkan akan menjual 9,5 juta sahamnya di Square Enix (8,2% total saham perusahaan game tersebut) dengan harga $48 juta. Pada bulan Mei, perusahaan mengumumkan membentuk kemitraan dengna Shanghai Oriental Pearl Group untuk memanufaktur dan memasarkan PlayStation di Tiongkok.

Ibuka, Morita, dan Sony mengubah wajah industri Jepang. Mereka menggeser bakat imitasi negeri ini menjadi bakat untuk inovasi. Warisan pribadi Ibuka termasuk Sony Fund for Education dan bukunya, Kindergarten is Too Late. Dalam buku itu, Ibuka menegaskan bahwa tahap paling penting dalam perkembangan intelektual anak-anak berlangsung antara usia sembilan bulan dan tiga tahun.

Morita adalah guru bisnis pertama dan masih yang terbesar di Jepang. Dialah yang menjembatani dua dunia dalam kehidupan bisnis dan domestik.

Di Sony,dua pria yang telah menjalin persahabatan sepanjang hayat dan tetap bersinar-sinar di tengah ujian perang menciptakan perusahaan global yang sinonim dengan kualitas dan gaya. Mereka menetapkan benchmark yang harus menjadi cita-cita perusahaan consumer electronics yang akan mengubah dunia.