Dilema Perang Kuning Antara Hidup dan Mati

Perang Kuning juga dapat disebut Perang Tionghoa yang berlangsung dari tahun 1741 sampai 1743. Perang Kuning merupakan konflik bersenjata antara tentara gabungan Jawa dengan Tionghoa melawan pemerintah kolonial Belanda. Perang ini meletus di Jawa tengah dan timur.

Perang Kuning dipimpin oleh tiga tokoh yaitu Oei Ing Kiat atau Raden Tumenggung Widyaningrat (Bupate Lasem), Kia Baidlawai dan Raden Panji Margono. Mereka merepresentasikan kelompok pribumi Jawa, Tionghoa dan santri. Selain itu masih banyak lagi tokoh lainnya yang turut serta berjuang, di antaranya Tan Si Ko alias Singseh, Tan Kee Wii dan Souw Phan Ciang alias Khe Panjang.

Akhir dari perang ini, Belanda berhasil memenangkan peperangan, yang berakibat Kesultanan Mataram jatuh dan secara tidak langsung mengarah ke pendirian Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Setelah tentara Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa orang yang selamat pergi ke Semarang dipimpin oleh Khe Pandjang. Meskipun telah mendengar peringatan bahwa pemberontakan akan segera terjadi, kepala militer Vereenigde Oostindische Compagnie Bartholomeus Visscher mengabaikan peringatan tersebut dan tidak menyiapkan bala bantuan.

Akhirnya, Sunan Mataram Pakubuwono II bersiasat untuk berpura-pura membantu orang Belanda dan memilih untuk mendukung orang Tionghoa. Setelah korban pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di Pati, pemberontakan menyebar ke seluruh Jawa tengah.

perang-kuning
id.wikipedia.org

Siasat dilaksanakan, orang Belanda mengira didukung orang Jawa, padahal orang Jawa turut membantu orang Tionghoa dan hanya berpura-pura berperang melawan mereka. Tipuan menjadi semakin jelas dan tentara Tionghoa terus mendekati Semarang.

Pada Juni 1741 tentara gabungan berhasil mengepung Semarang yang sebelumnya telah merebut Rembang, Tanjung, dan Jepara. Orang-orang Tionghoa yang berada di Jawa akhirnya dibantai atas perintah Visscher. Pangeran Cakraningrat IV dari Madura menawarkan bantuan, dan dari Madura ke arah barat ia membantai semua orang Tionghoa yang dapat ditemui dan memadamkan pemberontakan di Jawa Timur.

Pada akhir tahun 1741, pengepungan Semarang berhasil dihentikan setelah tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda memiliki senjata api yang lebih kuat. Kampanye militer Belanda selama tahun 1742 memaksa Pakubuwono II untuk menyerah; namun, beberapa pangeran Jawa ingin meneruskan perang, sehingga pada 6 April Pakubuwono II tidak diakui oleh para pemberontak dan keponakannya, Raden Mas Garendi, dipilih sebagai penggantinya.

Belanda akhirnya berhasil merebut kembali seluruh kota di pantai utara Jawa, para pemberontak menyerang ibukota Pakubuwono II di Kartosuro, akhirnya ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya.

Pada Desember 1742 Cakraningrat IV merebut kembali kota tersebut, dan pada awal 1743 pemberontak Tionghoa berakhir, mereka telah menyerah. Akhirnya setelah perang ini berakhir, orang Belanda semakin menancapkan kekuasaannya Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.

Demikianlah kisah sejarah Perang Kuning dimana  orang Tionghoa dan suku Jawa bersatu melawan VOC Belanda. Hingga saat ini kita bisa saksikan saksi bisu sejarahnya di TMII dalam sebuah monumen etnis Tionghoa dan suku Jawa bersatu melawan penjajahan.