Di Balik Kesuksesan B.J. Habibie Bukan Hanya Ada Ainun, Ada Juga Pengorbanan Ibu yang Tulus

Ketulusan dan doa ibu adalah penentu kemajuan bangsa, karena dari sanalah lahir pemuda-pemudi yang siap membangun negeri

Orang tua, terutama ibu, memiliki potensi yang besar dalam memajukan negeri Indonesia ini. Presiden Korea Selatan ke-10, Lee Myung Bak, mengatakan bahwa kunci kemajuan negaranya adalah pengorbanan para orang tua untuk memberikan pendidikan bagi anak-anaknya.

Pada tahun 60-an negeri itu miskin, namun orang tua Korea Selatan rela mengencangkan ikat pinggang dan bekerja keras agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Pengorbanan orang-orang inilah yang kini menghasilkan generasi penerus yang membangun Korea Selatan menjadi negara maju dan sejahtera.

Indonesia pun memiliki banyak orang tua seperti itu, salah satunya adalah Tuti Marini Puspowardojo. Seorang ibu yang beralih menjadi pengusaha agar dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Pemahaman akan pentingnya pendidikan beliau dapat dari keluarganya. Kakeknya adalah dokter pribumi pertama di masa penjajahan Belanda, ibunya dokter mata di Yogyakarta, dan ayahnya seorang penilik sekolah. Dengan begitu Tuti Marini termasuk sebagian kecil orang Indonesia yang beruntung, bisa mengenyam pendidikan hingga Hoogere Burger School (HBS, setingkat SMA).

Ibu bersumpah untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai tuntas

Pernikahannya dengan Alwi Abdul Jalil Habibie, seorang ahli pertanian, membawa Tuti Marini pindah dari pulau Jawa ke Parepare, Sulawesi Selatan. Di sana mereka berdua membangun keluarga dengan sembilan orang anak: Titi Sri Sulaksmi, Satoto Muhammad Duhri, Alwini Khalsum, Bacharuddin Jusuf (Habibie), Jusuf Effendy (Fanny), Sri Rejeki, Sri Rahayu, Ali Buntarman, dan Suyatim Abdurrahman. Alwi Abdul Jalil sering membagi mimpinya akan pendidikan yang harus diberikan bagi anak-anak mereka kepada istrinya, Tuti Marini.

Pada tahun 1950, saat Tuti Marini sedang mengandung Suyatim, Alwi Abdul Jalil Habibie meninggal dunia terkena serangan jantung. Mengetahui hal ini, Tuti Marini menjerit-jerit memanggil nama suaminya. Walau merasa sedih, ia tak mau terlalu lama terbawa oleh dukanya. Ia menyadari bahwa anak-anaknya masih membutuhkan dirinya untuk tetap tabah. Tiga anak pertamanya sudah bisa mandiri. Namun Habibie baru kelas I HBS (setingkat SMP) dan Fanny, Sri, serta Rahayu baru jenjang Sekolah Rakyat.

Di depan jasad suaminya, Tuti berteriak dan bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap pendidikan anak-anaknya akan dilanjutkan. Tuti Marini segera memutuskan, Fanny, Sri, dan Rahayu tetap belajar di sekolah yang sama sementara Habibie merantau ke pulau Jawa. Ketetapan hati sang ibu ini membekas dalam benak anak-anaknya. Mereka tidak ingin mengecewakan ibu.

Setelah hijrah ke pulau Jawa, mulanya Habibie bersekolah di Jakarta, namun ia tidak merasa betah hingga akhirnya pindah ke Bandung. Habibie menamatkan pendidikan menengahnya di Governments Middlebare School (kini SMPN 5 Bandung) lalu ke Lycium (kini SMA Kristen Dago). Selama bersekolah ini Habibie menunjukkan minatnya dalam bidang akademis, terutama ilmu pasti. Hal inilah yang membuatnya memilih kuliah di Institut Teknologi Bandung.

Setiap ibu pasti merindukan anak-anaknya

Tuti Marini tidak merasa tenang jauh dari anaknya. Ia menjual rumah dan kendaraannya di Sulawesi dan pindah ke Bandung. Untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, Tuti membeli dua rumah di Bandung. Satu untuk ditinggali dan yang lainnya dijadikan tempat kost.

Tuti masih memegang teguh janjinya saat malam kematian mendiang suaminya. Ia segera mengurus izin keberangkatan anaknya Habibie untuk kuliah di luar negeri. Mulanya Habibie tidak terlalu menanggapi  keseriusan sang ibu untuk menyekolahkannya di luar negeri. Namun melihat bagaimana sumpah ibunya dulu, Habibie ingin belajar sekeras mungkin sesuai harapan ibunya. “Saya baru 6 bulan di ITB, ngapain ke luar? Tapi ibu…. Ibu sudah janji meneruskan sekolah saya di luar,” kata Habibie mengenang masa-masa itu.

Pengorbanan seorang ibu agar Habibie bisa bersekolah setinggi mungkin

“Saya memilih Rudy (nama kecil Habibie) karena anak itu kelihatan lebih serius dalam belajar. Sampai-sampai di balik pintu pun ia bisa membaca buku dengan asyiknya. Sebenarnya kasihan adiknya yang juga minta disekolahkan di luar negeri, tetapi bagaimana, waktu itu untuk Habibie saja saya harus melepas seluruh tabungan. Pokoknya habis-habisan. Saya jual perhiasan, sebagai janda yang tak memiliki koneksi terpaksa saya harus berjuang sendiri demi anak,” kata Tuti.

Habibie pun berangkat ke Aachen, Jerman untuk mendalami jurusan aeronautika. Saat akan berangkat, ia bertemu Menteri Pendidikan saat itu, Prof. Mr. Mohammad Yamin, yang mengelus-elus kepalanya dan berkata, “Kamu inilah harapan bangsa.” Kondisi negeri yang belum semakmur sekarang ini memang sangat menggantungkan harapan pada sebagian kecil anak muda yang berkesempatan “mencuri” ilmu dari negara yang telah lebih dulu maju.

Berbeda dengan mahasiswa kebanyakan yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah, Habibie bisa kuliah dengan uang kiriman ibunya. Uang kuliah dan biaya hidup di Jerman yang jauh lebih besar menjadi beban yang cukup berat bagi keluarganya. Hal ini membuat Habibie berusaha keras untuk lulus semua mata kuliah dan segera meraih gelar sarjana. Apalagi ia mengetahui ibunya harus bekerja keras untuk menutupi kebutuhan keuangan keluarga. Tuti Marini berinisiatif membuka usaha sendiri. Terkadang ia harus menyetir sendiri dari Bandung ke Yogyakarta atau dari Bandung ke Jakarta pulang pergi.

Habibie tidak ingin mengecewakan ibu dan adik-adiknya yang telah berkorban untuk pendidikannya. Sementara mahasiswa Indonesia lain dapat intens mengambil kegiatan sampingan seperti bekerja sampingan karena beasiswa pemerintah saat itu tidak ada batasan waktu, Habibie harus fokus belajar. Jika ia sampai tidak lulus ujian, keluarganya akan menanggung kerugian besar.

Saat liburan musim panas, Habibie mengambil kuliah tambahan, mengikuti ujian, dan mencari uang untuk membeli buku. Segera setelah masa liburan selesai, Habibie melepas berbagai kegiatan sampingannya. Alhasil, Habibie bisa lulus hanya dalam waktu 4 tahun, padahal biasanya seorang mahasiswa Aachen baru lulus setelah kuliah 5-6 tahun. Habibie tidak merasa bahwa mahasiswa yang lain tidak mampu untuk lulus 4 tahun seperti dirinya.

Menurutnya mahasiswa Indonesia lain tidak ada tuntutan untuk cepat lulus sehingga dapat memilih untuk menimba pengalaman bekerja dan menunda ikut ujian. Beban berbeda yang perlu Habibie tanggung ini mendewasakan dirinya. Ia harus bisa segera pulang dan membantu ibunya. “Dengan rasa prihatin dan berdoa selalu saya mengikuti perkembangan sekolah Rudy (Habibie) dari jauh. Dan Rudy tidak mengecewakan kami. Ia tahu ibunya dan saudara-saudaranya telah berkorban dan ia menebusnya itu untuk kami,” kenang Tuti Marini.

Pengorbanan sang ibu inilah yang memotivasi anak untuk belajar dan bekerja lebih keras. Hingga akhirnya Habibie dapat meniti karier dengan cepat di Jerman. Bukan hanya itu, Habibie juga membantu anak-anak muda lainnya untuk bisa kuliah dan berkarier di Jerman, dengan cita-cita membangun negerinya kelak.

Benteng terkuat adalah para ibu yang baik

Memang tidak salah perkataan Napoleon Bonaparte ketika ditanya, “Benteng manakah di Perancis ini yang paling kuat?” “Benteng terkuat adalah para ibu yang baik,” jawabnya. Terbukti, perjuangan Tuti Marini sebagai seorang ibu memberikan dampak yang besar bagi anak-anaknya dan juga bagi negeri ini.

 

Literatur:

Makka, A. Makmur. 2008. The True Life of Habibie. Depok: Pustaka IIMaN

Situs Kepustakaan Presiden Republik Indonesia: Biografi Keluarga Presiden B.J. Habibie