Cerita Soulmate #2: Mendengarkan Kata Suara Hati

Sejauh ini Karolin merasa ia bisa berpura-pura untuk sementara mengikuti keinginan Bren (Baca: Cerita Soulmate #1: Mencari Cinta di Tempat yang Salah). Tapi bisakah dia memaksakan diri seperti itu? Ia mencoba jujur dengan dirinya sendiri dengan cara ini.

Obsesiku untuk bisa berkomitmen menikah dengan Bren mulai mengambil semua waktu dan perhatian yang seharusnya kupakai untuk bekerja sebagai psikolog dan dosen. Saat itu, aku sedang belajar tentang self insight dengan konselor Carmela Corallo. Aku juga sangat mendalami buku A Course of Miracles.

Kedua hal ini mendorongku untuk percaya bahwa dengan menyadari self insight, aku bisa belajar untuk mengakses saran dari suara hatiku. Suara hati inilah yang kuharap akan menolongku untuk menyadari kemungkinan terbaik yang bisa kuraih.

Aku sangat siap untuk mendapat bantuan dari sisi mana pun. Aku mulai mengalokasikan waktu tiap pagi untuk menggali batinku sendiri agar mendapat petunjuk akan hubunganku.

Aku tenangkan pikiranku, mengundang suara hatiku untuk berbicara padaku. Lalu diam untuk mendengarkan jawaban yang batinku bisikkan. Dan ternyata, tidak lama kemudian berbagai jawaban bermunculan.

Aku pun mulai merutinkan berdialog dengan suara hatiku setiap hari. Suara hatiku ini terasa seperti pembimbing yang benar-benar tercerahkan. Kehadiran batin ini menyambut baik pertanyaan-pertanyaanku. Bukan hanya  itu, jawabannya selalu mencerahkan diriku. Satu-satunya masalah adalah, suara hatiku mengungkapkan pendapat yang tidak begitu aku sukai tentang hubunganku dengan pria selama ini.

Kukira kalau aku sudah punya suara hati, dia akan terus memihak padaku dengan teguh. Saat kisah cintaku digali, kukira isi hatiku ini akan bersimpati dengan malangnya  kisah cintaku. Bukan hanya itu, aku juga berharap dia akan mewanti-wanti akan kesalahan dan motivasi tersembunyi dari pria-pria yang selama ini kukencani, serta menunjukkan padaku bagaimana cara agar hubunganku bisa berubah jadi seperti keinginanku.

Sayangnya, hatiku ternyata berkata hal yang berbeda. Dia tidak bersimpati saat kucurahkan rasa sakit dan marah atas kekecewaan yang pria-pria berikan pada hidupku. Hatiku tak mau membahas kesalahan Bren. Bahkan saat aku mencari strategi untuk membuat Bren berkomitmen, dia tak mau menolong sama sekali.

Semakin jelas kalau hatiku tidak tertarik sama sekali atas bagaimana cara pria-pria memperlakukanku dengan buruk. Hatiku ini hanya mau membicarakan betapa buruknya aku memperlakukan kekasihku selama ini!

Jarang sekali waktu latihan self insight ini berlalu tanpa komentar dari hatiku ini akan caraku memaksakan keinginanku ke Bren. Aku benci sekali dianggap wanita yang manipulatif. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan selain menjadi wanita seperti itu?

Haruskah aku memberi Bren kebebasan sepenuhnya untuk memutuskan hal yang terbaik bagi hubungan kami tanpa mendengarkan kebutuhan dan harapanku? Kalau aku memberinya kebebasan memilih, bagaimana kalau dia pergi?

Pembimbingku terus-menerus menunjukkan dampak negatif dari taktik menekanku. Aku sudah sangat paham kalau ibu Bren dan juga mantan istrinya sering mengontrol Bren lewat membuatnya merasa bersalah. Suara batinku sekarang menunjukkan kalau akibatnya ada bagian dalam diri Bren yang benar-benar percaya kalau Bren ini pria destruktif yang selalu melukai wanita yang ia cintai.

Menurut suara hatiku ini, Bren yakin kalau hubungan percintaan itu pasti mengandung penderitaan dan pengorbanan. Bren menganggap dirinya hanya punya 2 pilihan:

  1. menyerah tidak memperjuangkan hal-hal yang dia inginkan dalam hidupnya agar bisa membuat wanita bahagia, atau,
  2. melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri walau akibatnya harus melukai wanitanya

Bren tidak merasa kalau ia bisa meraih kedua hal terbaik dalam 2 pilihan itu.

Suara hatiku berkata kalau keengganan Bren untuk berkomitmen pada hubungan kami itu karena ia takut mengecewakanku dan ia takut jadi merasa semakin bersalah daripada yang dia alami sekarang. Sementara aku, mempermainkan perasaan bersalah yang ada pada Bren, dan menyebutnya cinta.

Suara hatiku bertanya, “Apa hal buruk yang sudah Bren lakukan padaku sampai-sampai aku merasa ia pantas diperlakukan tanpa rasa hormat dan tidak sepantasnya?”

Kudengar kalau menggali self insight itu digambarkan seperti “rangkaian panjang mempermalukan diri.” Pada masa-masa ini, aku memang merasa dipermalukan lama sekali. Suara hatiku menunjukkan berbagai cara yang sudah aku lakukan untuk merayu pria dan menjebak mereka agar mengikuti keinginanku.

Sekilas tentang suara hati

cdn.ar.com
cdn.ar.com

Suara hati ini adalah ilham. Tentu tidak semua suara hati perlu kita dengarkan. Ada ilham yang mengajak kita ke perbuatan baik, namun ada juga yang mengajak kita ke perbuatan buruk. Ilham ini hanya menunjukkan kondisi jiwa kita. Oleh karena itu, saya pribadi percaya kalau pembimbing batin ini tetap perlu dipimpin oleh keyakinan yang kita anut.

Namun satu hal yang pasti, pembimbing batin ini benar-benar menunjukkan suara hati kita, yang pasti penting untuk kita akui, walau belum tentu perlu kita turuti. Hanya kebenaran sejati yang perlu kita ikuti. Dalam agama Islam, kebenaran sejati itu adalah Al Quran dan teladan Rasulullah Muhammad SAW.

Bagaimana kelanjutan percakapan Karolin dengan suara hatinya, simak dalam artikel Cerita Soulmate #4: Cerita Cinta yang Harus Diakhiri.

“The whole conviction of my life now rests upon the belief that loneliness. far from being a rare and curious phenomenon, peculiar to myself and a few other solitary men, is the central and inevitable fact of human existence.”
Thomas Wolfe