Dilema Pendidikan di Tengah Persimpangan Bonus Demografi Negeri Ini

Setiap tahunnya, ada 4,8 juta anak Indonesia yang belajar di sekolah dasar. Jumlah pelajar ini menurun seiring meningkatnya masa belajar, hanya ada 3,8 juta anak yang belajar di SMP. Sementara jumlah anak yang belajar di SMA turun lagi menjadi 2,6 juta setiap tahunnya. Hampir setengah dari anak Indonesia yang bersemangat untuk datang ke sekolah saat usianya masih 6 tahun tidak bisa menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas. Jumlah yang drop out sekolah itu 2,2 juta setiap tahunnya, statistik yang mengerikan.

Padahal Indonesia sedang berada dalam persimpangan, saat ini kita memiliki bonus demografi. Enam puluh tujuh persen penduduk negeri ini berada dalam masa produktif—dan diperkirakan akan terus berlangsung sampai tahun 2035. Bonus demografi ini potensi besar bagi Indonesia. Beberapa negara yang mampu memanfaatkan bonus demografi dengan baik telah tumbuh menjadi negara maju, bahkan ada yang berasal dari kondisi lebih miskin dari Indonesia.

Negara-negara di kawasan Skandinavia mendapat bonus demografi pada tahun 1950-an. Lima negara yang berada di kawasan tersebut—Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan Islandia—sekarang bertengger dalam 20 negara paling kompetitif di dunia versi World Economic Forum. Negara-negara Asia Timur—Jepang, China, Korea Selatan, Taiwan—juga pernah mendapat bonus demografi pada tahun 1965-1990. Masa-masa tersebut mengantarkan mereka menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Belum pernah ada kawasan yang mampu tumbuh secepat Asia Timur. Skandinavia dan Asia Timur mampu mendayagunakan bonus demografi yang mereka miliki sehingga berefek pada kemajuan dan kesejahteraan bangsanya.

Bonus demografi bisa benar-benar menyejahterakan negeri ini jika kita bisa mendidik anak-anak muda untuk membangun. Jika 2,2 juta anak yang tidak mendapat pendidikan formal yang cukup ini tidak mendapatkan pendidikan informal yang memadai, bisa jadi bonus demografi ini malah menjadi beban. Kuncinya ada di pendidikan. Mari kita lihat bagaimana dua negara bisa memanfaatkan bonus demografi dengan baik: Finlandia sebagai salah satu negara Skandinavia dan Korea Selatan mewakili Asia Timur.

Apa yang penduduk Finlandia lakukan untuk memajukan pendidikannya?

Pada tahun 50-an, Finlandia bukanlah negara yang makmur. Penduduk negeri ini tidak memiliki kebanggaan karena kalah dari perang dunia kedua dan juga memiliki krisis identitas jika dibandingkan negara tetangganya, Swedia dan Rusia. Pendidikan Finlandia tertinggal dibanding rata-rata dunia. Mulai dekade 70-an, Finlandia mencanangkan pendidikan yang berkualitas untuk semua anak-anaknya. Mereka menganggap serius jargon pendidikan sebagai hak asasi yang perlu didapat setiap anak. Hingga akhirnya pada tahun 90-an pendidikan Finlandia sudah menyalip rata-rata dunia dalam hal pembelajaran, partisipasi, persamaan, dan efisiensi serta terus maju menjadi sistem pendidikan terbaik dunia.

Pendidikan Finlandia yang maju ini berawal dari keyakinan bahwa seluruh anak harus mendapat pendidikan yang layak. Pemerintah Finlandia ingin setiap orang tua tidak perlu khawatir akan memasukkan anaknya ke sekolah yang mana karena pemerintah telah memastikan sekolah di mana pun berkualitas. Orang tua tidak perlu menyekolahkan anaknya ke tempat yang jauh dari rumah karena sekolah di dekat rumah pun berkualitas juga. Begitu juga jika keluarga harus pindah ke daerah pedesaan, anak masih bisa mendapatkan pendidikan sebagus di kota. Prinsip inilah yang dipegang oleh Finlandia, hingga sekarang.

Bagaimana Korea Selatan merevolusi pendidikannya?

Sementara itu, Korea Selatan sangat menghargai pendidikan karena kemiskinan yang mereka alami pascaperang Semenanjung Korea. Korea Selatan tidak memiliki sumber daya alam yang bisa menggerakkan ekonomi mereka, mereka hanya bisa mengandalkan sumber daya manusia agar bisa hidup layak. Mereka yakin hanya dengan pendidikanlah negara mereka bisa terbebas dari kemiskinan dan mereka berinvestasi besar-besaran untuk pendidikan.3

Generasi muda Korea Selatan dididik dan dilatih untuk menjadi pekerja pabrik dan perawat. Pemerintah menyiapkan pendidikan kejuruan sehingga generasi muda ini bisa produktif bekerja di negara-negara maju seperti Jerman. Begitu pula saat ekonomi Korea Selatan sudah mulai tumbuh, industri Korea Selatan mendapat sumber daya manusia berkualitas yang memiliki semangat untuk belajar serta terdidik dan terlatih.

Melihat praktik yang dilakukan dua negara tersebut agar bisa maju, kita bisa belajar prinsip yang mereka gunakan agar bisa maju. Pendidikan itu harus bisa didapat oleh setiap anak. Setiap anak memiliki potensi yang sama untuk berkarya. Oleh karena itu kesempatan belajar harus diberikan kepada semua anak tanpa terkecuali. Pekerjaan rumah kita masih banyak. Dua koma dua juta anak tidak bisa menamatkan pendidikan 12 tahun setiap tahunnya. Bukan hanya pemerintah yang perlu bergerak untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini, butuh partisipasi dari seluruh masyarakat agar pendidikan berkualitas untuk semua bisa lebih cepat tercapai. Semangat pendidikan itu pernah muncul, masyarakat saling menanggung beban agar setiap anak bisa belajar dengan layak.

Sudahkah kita memikirkan anak-anak yang “terpinggirkan” ini?

Pendidikan juga selayaknya menyiapkan anak-anak untuk bisa berkarya sesuai dengan potensinya masing-masing. Yang perlu kita khawatirkan bukanlah anak-anak yang pintar dalam belajar atau mampu bersekolah sampai selesai. Yang perlu kita khawatirkan adalah anak-anak yang potensinya bukan dalam bidang sains, matematika, atau bahasa.

Kurikulum yang ada saat ini sangat membantu bagi anak yang memang berbakat dalam tiga bidang ini, yakni anak-anak ber-IQ di atas 120. Sayangnya hanya ada sekitar 15-20% anak-anak yang memiliki IQ di atas 120. Delapan puluh persen anak lainnya harus berusaha lebih keras dalam memahami pelajaran sekolah, padahal mereka memiliki bakat dalam bidang-bidang lainnya yang tidak terakomodasi oleh sekolah—terutama bidang craftsmanship yang aplikatif untuk survive di lapangan. Hal ini menyebabkan bakat yang mereka miliki tersia-siakan selama berada di kelas. Pelajaran sekolah yang tidak begitu disukai anak disertai kondisi ekonomi keluarga yang cukup sulit memperbesar peluang anak untuk keluar dari sekolah.

Untuk itulah pendidikan yang disiapkan Korea Selatan, pendidikan kejuruan atau pendidikan yang menekankan craftsmanship perlu lebih intens. Dalam waktu dekat ini Indonesia masih tidak akan bisa menampung seluruh anak negerinya—miris memang, namun ini faktanya. Kita perlu membuat SMA dan SMK menjadi dua kalinya agar bisa menampung seluruh anak negeri. Tampaknya tidak bisa tercapai dalam waktu dekat. Oleh karena itu, sekolah perlu menyiapkan craftsmanship dalam diri anak sejak dini. Misalnya dengan mengajarkan lebih banyak kerajinan sejak dini. Jika di masa depan sang anak tidak bisa melanjutkan sekolah, setidaknya anak memiliki bekal craftsmanship sehingga masih bisa berkarya. Lebih baik lagi jika sekolah dapat mengakomodasi dan mengembangkan berbagai jenis kecerdasan anak lainnya.

Semangat pendidikan yang harus kita bawa itu seharusnya semangat memberikan dan mendapatkan pendidikan bagi seluruh anak Indonesia. Bukan untuk mengejar peringkat dalam bidang tertentu, berkompetisi dengan negara lain, atau semata-mata dikenal sebagai negara yang maju. Semangat pendidikan untuk semua itu ada agar kita bisa membentuk Indonesia yang lebih baik dari hari ini. Karena hanya dengan pendidikanlah, generasi penerus dapat membentuk masa depan yang lebih baik .