Biografi Jenderal Sudirman, Bapak Tentara Nasional Indonesia

BIOGRAFI JENDERAL SUDIRMAN (1916-1950) – Tubuhnya yang kurus akibat penyakit paru-paru yang diidapnya tidak mematahkan semangat juangnya. Itulah Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Keterlibatannya dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan memiliki sejarah yang panjang.

Jenderal Sudirman Pernah Menjadi Guru

Jenderal Sudirman Pernah Menjadi Guru
bombastis.com

Setamat sekolah dasar (HIS) di Purwokerto, ia meneruskan pendidikannya di Taman Siswa dan Sekolah Guru Muhammadiyah namun tidak tamat. Sudirman kemudian mengajar di salah satu sekolah Muhammadiyah di Cilacap, sekaligus aktif di organisasi keagamaan. Di samping aktif dalam organisasi itu, Sudirman masih meluangkan waktu untuk mengikuti gerakan kepanduan dengan disiplin organisasi yang keras.

Aktivitasnya dalam dunia pendidikan berlanjut sampai zaman Jepang. Kesulitan ekonomi selama pendudukan Jepang mendorongnya untuk mendirikan koperasi sebagai usaha menghindari bahaya kelaparan di kalangan rakyat. Hal itu pula yang menyebabkan dia diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karasidenan Banyumas.

Rupanya dunia pendidikan belum memuaskan hatinya sehingga ia mengikuti pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor. Setelah menamatkan pendidikan militer itu, dia diangkat sebagai komandan Batalyon di Kroya.

Dalam kapasitasnya sebagai komandan itu, ia seringkali berselisih paham dan bertengkar dengan perwira-perwira Jepang, atasan-atasannya. Hal itu terjadi karena Sudirman mencela tindakan dan perilaku sewenang-wenang tentara pendudukan jepang. Protes-protesnya terhadap tentara Jepang menyebabkan keselamatannya terancam. Hampir saja dia terbunuh karena tindakannya itu namun ia berhasil selamat karena penyerahan Jepang terhadap sekutu dan diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan RI.

Memimpin Tentara Keamanan Rakyat

Memimpin Tentara Keamanan Rakyat
nrmnews.com

Negara Republik Indonesia yang masih muda memerlukan tentara untuk menjaga keamanan nasionalnya. Untuk itu dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sudirman diangkat sebagai Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat kolonel.

Ketika Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas gugur dalam pertempuran melawan tentara Inggris dan sekutu, Kolonel Sudirman turun langsung ke medan pertempurn Ambarawa. Kehadiran kolonel yang berkharisma itu memberi semangat baru kepada pasukan TKR. Di bawah kepemimpinannya, TKR berhasil menghalau pasukan Inggris dari Ambarawa setelah pertempuran sengit selama empat hari. Pertempuran itu kemudian dikenal sebagai “Palagan Ambarawa”.

Pada tanggal 12 November 1945 dalam konferensi TKR di Yogyakarta, SUdirman diangkat sebagai panglima besar TKR sedangkan kepala stafnya dipilih Oerip Sumohardjo.

Pada tanggal 18 Desember 1945, pemerintah melantik Kolonel Sudirman dalam jabatan itu dengan pangkat Jenderal. Pada tanggal 3 Juni 1947 pemerintah Indonesia mengukuhkan TKR menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan pimpinan tertinggi dibawah Jenderal Sudirman.

Perjuangan Militer dan Diplomasi

Perjuangan Militer dan Diplomasi
soeharto.co

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan tentara republik ke luar kota untuk bergerilya kembali.

“Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya.” Itulah ajakan Jenderal Sudirman kepada Presiden Republik Indonesia waktu itu, tetapi Bung Karno tetap ingin tinggal di kota meneruskan perjuangan diplomasi.

Dalam rapat kabinet, ada dua pendapat dalam strategi perjuangan bangsa menghadapi serangan Belanda. Jenderal Sudirman dan pihak militer bersikeras dengan perjuangan fisik sementara Bung Karno dan Bung Hatta tetap pada pendiriannya dengan strategi diplomasi.

Kabinet memutuskan agar Jenderal Sudirman meneruskan perjuangan gerilya dan presiden tinggal di kota dan melanjutkan perjuangan diplomasi. Hal ini terjadi ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II (1948-1949) dengan menguasai Yogyakarta, Ibu kota Republik Indonesia dan menawan presiden dan wakil presiden serta pemimpin lainnya.

Walaupun keadaan kesehatannya sedang terganggu, ia mampu bergerilya masuk hutan dan mendaki gunung selama tujuh bulan. Strategi militer dan diplomasi sangat jitu untuk memaksa Belanda mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Jendral Sudirman memimpin perjuangan gerilya dengan berpindah-pindah. Dalam keadaan kesehatannya yang semakin menurun dan terpaksa harus ditandu, Jenderal Sudirman menjelajahi wilayah gerilya di daerah selatan Yogyakarta, Keresidenan Surakarta, Madiun dan Kediri.

Dengan semakin dipertajamnya perang gerilya, tentara republik mulai memegang kendali pertempuran. Belanda menjadi terdesak dan barisan pertahanan banyak yang hancur. Dalam keadaan demikian, dunia internasional semakin gencar mengecam Belanda, sehingga belanda bersedia mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia.

Strategi Hebat Jenderal Sudirman

Strategi Hebat Jenderal Sudirman
mustprast.wordpress.com

Ketika perundingan tengah berlangsung, pada 1 Mei 1949 panglima Besar TNI Jenderal Sudirman mengeluarkan amanat kepada para komandan kesatuan agar tidak turut memikirkan perundingan Roem-Royen. Menurut Jenderal Sudirman, hal itu akan merugikan pertahanan dan perjuangan. Selain itu, ia pun menyerukan agar tetap waspada meskipun perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bersama.

Dugaan pihak TNI terhadap kemungkinan terjadinya serangan Belanda tidak meleset. Pasukan-pasukan Belanda yang dipindahkan dari Yogyakarta ke Surakarta ternyata melakukan tekanan-tekanan militer ke daerah yang baru ditempatinya. Oleh karena itu, TNI memerintahkan penyerangan terhadap objek-objek vital di Surakarta. Di tempat-tempat lain pun perlawanan gerilya terus berlangsung tanpa pengaruh oleh hasil perundingan.

Dari hari ke hari kedudukan Belanda makin terjepit. Kota Yogyakarta sepenuhnya telah dikosongkan tentara Belanda pada 29 Juni 1949. Sejak saat itu, TNI mulai memasuki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan para pembesar yang ditawan, kembali ke kota ini pada 6 juli 1949. Panglima besar Jenderal Sudirman baru tiba pada 10 Juli 1949. Kembalinya para pemimpin Republik Indonesia ke Ibu Kota Yogyakarta menunjukkan kemenangan luar biasa bagi bangsa Indonesia di kancah diplomasi.

Wafatnya Jenderal Sudirman

Penyakitnya makin parah karena tidak tersedianya obat dan makanan yang memadai selama perang. Setelah perang berakhir, ia jatuh sakit meskipun kepemimpinannya sangat dinantikan seluruh jajaran militer.

Jenderal Sudirman wafat di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada tahun 1997, dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima. Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasa dan perjuangannya yang besar kepada Bangsa dan negara. Pada tangga 10 Desember 1964, berdasarkan Keppres No. 314/1964 tahun 1964, Jenderal Sudirman resmi dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia.

 

Peran Jenderal Sudirman dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Peran Jenderal Sudirman dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
historia.id

Peran Jenderal Sudirman dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia besar sekali. Usaha beliau dilakukan sampai titik darah penghabisan.

Beberapa peran Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Pada tanggal 23 Agustus 1949, pemerintah membentuk Badan Keamanan rakyat (BKR) Sudirman diangkat menjadi ketua BKR untuk wilayah Banyumas.
  2. Tanggal 12 Desember 1945, Kolonel Sudirman memimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mengusir sekutu dari Ambarawa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pengaruh sekutu.
  3. Panglima Besar Sudirman keluar dari Kota Yogyakarta untuk bergerilya mengusir penjajah Belanda. Dalam bergerilya Jenderal Sudirman melewati rute bagian selatan, yaitu Yogyakarta, Keresidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri. Setelah bergerilya, kondisi kesehatannya semakin parah sehingga terpaksa ditandu oleh anak buahnya. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 1949 Panglima Besar Jenderal Sudirman kembali ke Yogyakarta dan disambut dengan hangat oleh para petinggi negara dan rakyat sekitarnya.

Nilai Kepahlawanan Jenderal Sudirman

Ada hal menarik dalam diri Jenderal Sudirman selain kehebatannya dalam strategi perang dan militer serta kharisma kepemimpinannya di kalangan anak buahnya, yaitu kerelaannya berkorban.

Tanpa menghiraukan kesehatannya, dia rela bergerilya ke hutan-hutan agar di mata dunia internasional, bangsa Indonesia sedang gigih berjuang meskipun para pemimpinnya ditawan Belanda.

Keputusannya meskipun harus ‘dibayar’ dengan nyawanya tetap ditempuh demi kemerdekaan bangsanya. Dalam hal itulah terletak kebesaran Jenderal Sudirman selain jasanya membangun TNI.

Kini nama Jenderal Sudirman sebagai pahlawan Indonesia diabadikan sebagai jalan di beberapa kawasan di Indonesia. Selain itu, Pemerintah DKI Jakarta juga membangun monumen Jenderal Sudirman di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Di bidang pendidikan pun namanya diabadikan sebagai nama sebuah universitas negeri di Purwokerto, Jawa Tengah.