Biografi dan Prestasi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat).

Gelar Raden Mas ia dapatkan  dari lingkungan keluarganya yang merupakan kerabat Keraton Yogyakarta. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa yang bertepatan dengan tahun 1922, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara (EYD: Ki Hajar Dewantara).

Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Ia lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 dan tutup usia di kota yang sama pada 26 April 1959.

Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjutan studi ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.

Lalu ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Secara ringkas, inilah rekam jejak kehidupan Ki Hajar Dewantara yang telah berjuang di jalan kebaikan demi tanah air kita, Indonesia.

 

Salah satu dari Tiga Serangkai

Tiga Serangkai
tempo.co

Tiga Serangkai merujuk pada tiga orang pendiri Indische Partij, partai politik pertama di Indonesia yang berdiri tanggal 25 Desember 1912. Ketiganya yaitu Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusuma, dan Ki Hajar Dewantara.

Bahkan, sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, Ki Hajar Dewantara sudah aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa)  mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Penulis artikel ‘pedas’, Als ik een Nederlander was, di surat kabar De Expres

De Expres
bincangedukasi.com

Tulisan Ki Hajar Dewantara berjudul Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel tersebut terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Dalam pengasingan, ia menyusun cita-cita mulia untuk bangsa

Ki Hajar Dewantara giat belajar
pinterest.com

Akibat tulisan ‘pedasnya’ di surat kabar De Expres,  Ki Hajar Dewantara ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri).

Kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo memprotes pengasingannya dan akhirnya mereka bertiga justru diasingkan ke Belanda (1913). Ketika itu usianya 24 tahun. Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Di situlah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.

Pendiri Tamansiswa

Taman Siswa
islampos.com

Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.

Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang ia pakai kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).

 

Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam Kabinet Presidensial

Kabinet Presidensial
baltyra.com

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama.

Mendapat gelar kehormatan dari UGM

Pemberian gelar kehormatan kepada Ki Hajar Dewantara
luk.staff.ugm.ac.id

Pada Rabu, 19 Desember 1956 ia mendapat gelar Doktor Bidang Kebudayaan dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada.

Bapak Pendidikan Nasional

Ki Hajar Dewantara
linkedin.com

Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya, 2 Mei, dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

Semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan) kini dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia.

KRI Ki Hajar Dewantara

KRI Ki Hajar Dewantara
cintabelanegara.blogspot.com.au

Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.

 

Potret dalam uang kertas Rp 20.000,-

Potret Ki Hajar Dewantara dalam uang kertas
collezionareasiena.com

Potret dirinya diabadikan pada uang kertas Rupiah pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.

Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional Ki Hajar Dewantara
wongkedungrandu.wordpress.com

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)